Pemanfaatan Listrik Energi Matahari Indonesia
Pemanfaatan Listrik Energi Matahari Baru 3,7 Persen
Pengembangan
kapasitas energi surya di tanah air saat ini baru mencapai 30 MW, atau
hanya 3,75 persen dari target kapasitas terpasang pada 2025 sebesar 800
MW.
"Padahal ketersediaan energi surya sangat melimpah di negeri
tropis ini," kata Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) bidang Teknologi Rancang Bangun dan Rekayasa, Dr Surjatin
Wiriadidjaja pada pembukaan Pelatihan mengenai Sistem Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS) di Tangerang, Banten, Selasa (28/7).
Kendala
pengembangan PLTS, ujarnya, lebih disebabkan pada biaya investasi PLTS
yang sangat tinggi, berhubung 60 persen dari komponen PLTS berupa sel
surya masih diimpor, sementara modul suryanya sulit diperoleh akibat
besarnya daya serap pasar Eropa.
Kendala lainnya, lanjut dia,
kebijakan tarif listrik yang hanya mensubsidi penggunaan bahan bakar
fosil sehingga tidak merangsang partisipasi pada pegembangan energi
terbarukan.
Selain itu, lokasi-lokasi potensial PLTS hanya untuk
listrik perumahan di daerah-daerah terpencil dan kepulauan yang justru
penduduknya berpenghasilan rendah sehingga tak mampu membeli listrik
energi surya.
"Masyarakat menggunakan PLTS selama ini karena
tidak memiliki akses ke jaringan PLN, mereka ada di daerah-daerah
terpencil dan kepulauan dan biasa menggunakan listrik tenaga disel.
Kalau harga solar di daerah terpencil sampai Rp3.000 per kWh, baru PLTS
dipertimbangkan, biasanya dengan sistem hibrid (kombinasi antara diesel
dan surya -red)," katanya.
Namun, lanjut dia, pihaknya tetap
optimistis di masa depan energi surya akan terus berkembang dan semakin
terjangkau sesuai hukum ekonomi pasar, apalagi jika penemuan-penemuan
baru terkait sel surya sudah semakin banyak.
"Pemerintah tahun
ini menyiapkan Rp1,3 triliun untuk pengembangan PLTS yang tersebar di
berbagai instansi pemerintah seperti Departemen ESDM, dan lainnya," kata
Suryatin.
Potensi PLTS, lanjut dia, masih sangat besar berhubung
19,5 juta KK belum memiliki akses listrik dan enam juta KK di antaranya
di daerah terpencil yang sulit berharap pada PLN.
"Tapi ke depan PLTS bisa dimasukkan dalam sistem `grid connected` dalam sistem jaringan PLN," jelasnya.
Sementara
itu, Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT MAM Oktaufik mengatakan,
negara-negara yang telah memproduksi sel surya antara lain Jepang, AS,
dan Jerman, sedangkan Malaysia dan Singapura sudah mulai membangun
pabriknya.
"Indonesia bisa saja membuat pabriknya, tapi investasinya sangat besar," katanya.
Dicontohkan,
investasi pabrikasi dari material mentah sampai menjadi modulnya
membutuhkan investasi 12-15 juta dolar AS untuk kapasitas 5 MW "peak"
per tahun, sedangkan pabrikasi sel surya dari pemurnian pasir silika
butuh 20 juta dollar AS dengan skala keekonomian pada kapasitas produksi
20-30 MW per tahun. (Btt/Ant)